Pagi yang dingin di Ngadas


Kamis, 17 Juni 2010

Pukul empat pagi truk yang akan mengantarkan kami ke desa Ranupane berangkat dari Tumpang. Dengan langit yang masih gelap, roda truk mulai berputar menyusuri jalan beraspal dan menanjak ke arah desa Gubuk Klakah. Melewati perkebunan tebu dan melihat tenangnya para umat muslim berdzikir setelah sholat Subuh di musholla ataupun masjid. Kontras, suasana yang jarang sekali kami nikmati akhir-akhir ini. Penduduk desa pun satu persatu mulai keluar dari istana kecil mereka masing-masing, membawa seluruh peralatan berkebun mereka dan bersiap pergi ke ladang. Melihat mereka, saya terlihat lebih kecil, terasa lebih lemah daripada mereka.


Di ujung batas desa di sebelah kanan jalan, terlihat pintu masuk ke kawasan wanawisata Coban Pelangi. Mulai dari sini kondisi jalan yang harus dilalui lebih menanjak dan berliku, tidak rata dan hancur karena bukan aspal lagi yang harus dilalui. Terkadang menyusuri pinggiran bukit, terkadang juga berada di atas punggungan gunung dengan jurang di kanan kiri jalan. Beberapa saat kemudian, kita akan melewati gerbang Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dilanjutkan dengan gerbang menuju ke Coban Trisula di kiri jalan.


Cahaya pagi mulai menerangi langit menelusupi rimbunnya hutan di punggungan lereng gunug Semeru. Cerah seperti yang diharapkan, dan terus berharap akan terus seperti ini selama perjalanan kami ke puncak Mahameru nanti. Berdiri di tepian bak truk pada awalnya menjadi posisi yang tidaklah nyaman, namun tergantikan ketika melihat cerahnya langit dan merasakan angin dingin pagi menerpa tubuhku. Perlahan-lahan terlihat pemandangan kebun-kebun palawija di kanan dan kiri jalan. Karena terletak di lereng bukit, kebun ini posisinya miring namun terlihat indah menghiasi bukit. “Simetris”, Djonk (Rizky Aditya) berkata padaku, garis-garis batas kebun dan jalannya air yang terlihat dari kejauhan yang mungkin membuat Djonk berfikiran seperti itu. Pondok-pondok kayu tempat para petani beristirahat menambah kuat kesan indahnya kehidupan sebuah desa di lereng bukit ini.


Di bagian kanan jalan, di balik bukit dan gunung-gunung yang menutup lerengnya, merinding tubuh ini melihat puncak berpasir sebuah gunung di kejauhan. Itulah puncak Mahameru yang diterangi sinar matahari pagi. Dia terlihat kokoh, dan karena itulah mereka menyebutnya puncak abadi para dewa. Bagaimana tidak, nyawa adalah taruhannya jika ingin mencapai puncak yang menjadi titik tertinggi pulau Jawa. Masih terlalu banyak misteri yang belum terpecahkan dibalik keindahannya.


Di desa Ngadas, truk yang membawa kami berhenti sejenak untuk menurunkan pasir. Kami pun turun dan masuk ke dalam Poskamling di ujung jalan. Untung saja di dalamnya ada perapian, dengan suhu dibawah 15o C tidak mungkin kami menunggu di luar. Dari kaca bagian dalam Poskamling, saya melihat para penduduk desa ini yang selalu membawa sarung untuk menutupi tubuh mereka dan ini sudah ciri khas para penduduk lereng gunung Bromo Tengger Semeru.


Selesai menurunkan muatan pasir, perjalanan berlanjut melalui jalan bagian dalam desa. Melihat para penduduknya, saya melihat kehidupan yang asing di mata saya. Satu contoh adalah ketika saya melihat seorang gadis kecil yang sekolah membawa sehelai kain sarung dan hanya sebuah buku. Bahasa pun terdengar sedikit berbeda dari biasanya yang saya dengar. Di sini dua puluh lima yang biasanya dibilang selawe diucap selangkung. “Hahahahahahahaha…”, saya yang mendengar itu tertawa ketika Djonk bercerita pada saya dan Om (M. Farid Syuhada).


Setelah itu, saya pun tertidur. Sejenak mengganti malam ketika di Tumpang.


Perjalanan Kedua, Mahameru... (Awal)


Beranggotakan lima orang, tiga dari Malang dan dua dari Jogjakarta. Dari kiri ke kanan adalah saya, Farid Syuhada a.k.a Om, Eka (cewe'nya Wayang), Dzulfikar a.k.a Wayang, dan Rizky Aditya a.k.a Djonk.

Rabu malam bada' Maghrib perjalanan dimulai ke Tumpang, pintu masuk ke Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dari arah Malang. Namun perlu diingat sebelum berangkat adalah mempersiapkan fotokopi KTP dan Surat Keterangan. Jangan lupa juga menghitung anggaran lebih untuk transportasi. Dari Arjosari menggunakan angkutan putih jurusan Tumpang dengan tarif Rp. 4000,-/orang, tapi dengan banyaknya barang yang nantinya akan dibawa bisa saja melonjak menjadi Rp. 7000,-/orang. Dari Tumpang, kami menggunakan jasa angkutan truk barang yang biasanya berangkat bada' Shubuh dengan tarif Rp. 30.000,-/orang, jadinya kami harus menginap satu malam di rumah si empunya truk. Biasanya para pendaki dipaksa memilih menggunakan jasa angkutan jeep yang berpangkalan di depan Alfa Mart Pasar Tumpang. Menggunakan jasa angkutan jeep tarifnya adalah Rp. 350.000,-  sampai dengan Rp. 550.000,- namun tarif Rp. 35.000,-/orang bisa berlaku jika minimal penumpangnya minimal 15 orang.

Copyright © 2011 - Teh Manis - is proudly powered by Blogger
My SoundCloud | My Tumblr | My Deviant Art | My youTube | My Facebook | My Twitter | Dilectio Blogger Template