Aku Meneriakkan Namamu di Sana, Sayang...!!!

hari ini masih bisa kurasakan...

di tengah keramaian,
suara gemercik air yang mengalir
desir angin yang menerpa
benderang cahaya mentari yang menyilaukan mata

namun, hati yang menentang dan tak ingin mati rasa...

aku kemudian berlari mencari
air yang tenang dan menenangkan
angin yang sejuk dan menenangkan
matahari yang hangat dan menenangkan

dan aku tetap menanti hatinya menjadi peka

hari ini, aku pergi...
meraihnya dari dunia yang tak pernah sama
dunia tempatku ingin meneriakkan segala kerinduan padanya

Mahameru, aku menujumu untuk pelarianku...

Kabut di Ranu Pane, sebuah desa kecil di tepian danau.

Kamis, 17 Juni 2010

Lumayan lama tertidur di perjalanan, terjaga kemudian terkejut melihat pemandangan yang berbeda dibandingkan tiga tahun lalu. Kantor perizinan terlihat lebih rapi seperti Puskesmas dengan loket di bagian kanan bangunan. Di belakang kaca jendela terdapat digital thermometer dan angka menunjukkan suhu 14.7o C. Suhu yang tidak bisa disebut “lumayan dingin” bagi orang-orang yang telah lama terbiasa hidup di kota seperti kami ini. Di bagian kiri gedung terdapat dinding besar berlapis keramik sebagai media corat-coret ataupun meletakkan sticker. Juga ada bangunan sebagai tempat istirahat wisatawan asing yang lebih bagus dibandingkan pondok para pendaki lokal yang berada di atas bukit di seberang kantor perizinan. Di tepian danau berdiri bangunan Posko SAR yang tak terawat dengan baik meskipun bangunan pada awalnya bangunan ini memiliki rancangan yang bagus dengan beberapa ruangan lengkap dengan kamar mandi dan dapur.


Setelah mengurus izin pendakian yang sekarang terasa lebih rumit prosesnya dan lebih mahal biayanya, kami sarapan di warung sebelah Posko SAR sambil menikmati secangkir kopi dan teh panas. Kemudian setelah selesai makan, persiapan selanjutnya untuk pendakian adalah foto-foto sebelum memulai perjalanan panjang ini.


Malam Jum’at di Ranu Kumbolo, hati-hati jangan sampai didatangin arwah Ernawati…”, cerita Wayang ketika mulai menyusuri jalan menanjak di tepian ladang sesaat melewati gerbang “SELAMAT MENDAKI”. Cerita itu hanya sebentar terekam di kepalaku, tanpa pernah menggubrisnya cerita itupun bagai angin lalu. Namun sempat juga mengganggu pikiran Om karena selama ini bagi kami yang sering mendaki cerita yang berbau klenik bersifat tabu. Perlu diketahui, Ernawati adalah seorang pengantin wanita yang meninggal tenggelam di danau Ranu Kumbolo saat mengadakan upacara adat sebagai pengantin baru di sana.


Pos Watu Rejeng


Berupa jembatan tua yang mulai lapuk berdiri di atas satu dari sekian banyak jurang yang kami harus lewati, pagarnya yang mulai patah pun tidaklah lagi kokoh. Sejenak kami beristirahat di sini sambil menunggu Wayang dan Eka yang tertinggal jauh di belakang. Bersama kami adalah sepasang muda mudi yang berencana camping di Ranu Kumbolo, menjadi teman seperjalanan kemudian membuka obrolan dan berkenalan.


Dari arah berlawanan, datang seorang ibu dengan dua anak lelakinya yang masih berumur 7 dan 4 tahun. Dia berusaha menenangkan anak tertuanya yang teriak-teriak memanggil ayahnya yang masih berada jauh di belakang mereka, sedangkan anaknya yang paling kecil hanya tertawa kecil melihat tingkah laku kakaknya. Mereka berasal dari Jakarta dan ke Semeru sebagai tujuan liburan mereka kali ini. Sekilas saja melihat ibunya, saya dan yang lain bisa menebak jika dia dulunya adalah seorang penggemar aktivitas ini juga.


Nantinya saya tidak tahu mereka bakalan meneruskan hobi ayah ibunya ataukah tidak, tapi saya dan ayahnya sudah berusaha mengenalkan mereka pada hobi kami ini. Syukur kalau mereka mau, kalau tidak pun tak apa…”, ibu itu berkata bijak. Sejak itu pun saya sependapat dengan perkataan ibu itu.



Copyright © 2011 - Teh Manis - is proudly powered by Blogger
My SoundCloud | My Tumblr | My Deviant Art | My youTube | My Facebook | My Twitter | Dilectio Blogger Template